Detail Aduan
Rincian Aduan : LGWP60189538
03 Jul 2018
Dear Bapak/Ibu yang saya hormati, Selamat sore, Perkenalkan saya Indah. Bapak/Ibu yang saya hormati, dalam email ini saya hendak menyampaikan beberapa aspirasi terkait sistem zonasi dalam penerimaan siswa sekolah menengah. Sebelum itu, tak lupa saya menyampaikan apresiasi atas kajian yang telah dilakukan untuk itikad baik memajukan pendidikan dalam negeri. Pada hari ini saya baru merasakan bagaimana sistem zonasi berpengaruh pada kehidupan anak-anak sekarang. Kasus yang saya amati adalah untuk penerimaan siswa SMA. Aspirasi maupun pertanyaan saya akan saya jabarkan sebagai berikut. 1. Sistem Instan Saya mencoba mengerti mengapa kebijakan ini ada, apakah karena ingin meratakan anak pintar di semua sekolah? Sungguh apakah ini hal terbaik? Bagaimana jika sekolah dizonanya tak bisa memaksimalkan potensi siswa? Apakah harus mengorbankan kemungkinan tersebut dengan pengandaian "akan ada pemerataan fasilitas sekolah". Jika boleh bilang, kalau tujuannya untuk meratakan anak pintar di semua sekolah, bukankah harusnya guru pintar juga diratakan? Dan lagi, apakah hanya ditinjau dari letak geografis? Seharusnya kebijakan ini dapat dilaksanakan ketika kita sudah dapat menjamin kualitas sekolah tiap daerah itu sama. Dan lagi, kualitas ini bukan hanya ditentukan dengan jumlah anak pintar di sekolah tersebut. Mungkin Bapak/Ibu mengambil "jalan pintas" untuk memaksa anak bersekolah di zonanya, mengabaikan haknya untuk dapat bersekolah di tempat yang ia mimpikan, hanya karena ingin piala kejuaraan terbagi merata (standar sekolah bagus). Apakah benar ini tujuannya? Mohon pencerahan jika saya salah. Menurut saya, sebuah kebijakan yang mehilangkan pilihan seperti ini harusnya bisa mungkin terjadi jika memang hal yang ditawarkan memiliki nilai jual yang sama atau hampir sama. Tolong Pak/Bu, untuk saat ini saya rasa kita belum siap sepenuhnya dengan sistem ini. Mungkin sudah terlambat, untuk tahun ini. Saya harap ada kebijakan lanjutan yang membantu anak tetap pada jalur potensi mereka, mengembangan potensi mereka. Tolong Pak Menteri, jangan jadikan anak-anak ini bahan percobaan Anda dalam masa jabatan Anda yang sesaat ini. Anda mungkin paling mengerti bahwa ini menyangkut masa depan mereka. Dampak langsung adanya kebijakan ini adalah sulitnya masuk universitas favorit mereka. NB: Jika dengan sistem PENERIMAAN UNIVERSITAS yang masih sama, melihat ALMAMATER, sistem SNMPTN Undangan atau sistem rapor, maka sungguh semakin membuat kebijakan ini mendzolimi anak-anak yang terpaksa karena alasan alamat rumah dia. Tolong Pak/Bu, jangan membaca ini dengan pikirkan "biarkanlah mereka protes, nanti juga diam", sungguh yang dihadapan Anda bukan hal sepele. Percayalah Anda tidak tahu semua kisah di belakang mereka. Ohya saya termasuk orang yang senang untuk bersekolah mencari pengalaman baru, mencari teman baru, SUNGGUH MENYENANGKAN saya dapat bertemu banyak kawan dari berbagai daerah, pun saya termasuk sedikit dari anak di daerah saya yang sekolah di daerah lain. Karena masing-masing dari kami sendiri pun sudah ada pertimbangan dalam menentukan pilihan. Saya bersyukur dahulu tidak ada pembatasan seperti ini, dan saya bisa dengan semangat saya bercita-cita untuk sekolah di tempat impian saya. 2. Pendekatan peninjauan kualitas sekolah Untuk hal ini, saya hanya bertanya-tanya, saya penasaran, bagaimana kah sistem kontrol terhadap kualitas sekolah? Apakah dengan nilai UN tertinggi? Piala yang banyak? Sungguh menurut saya pemerataan itu bukan dengan membagi menjadi jumlah yang sama, tetapi menuju suatu titik yang sama. Ibaratnya siswa di sini konsumen, dan sekolah adalah penyedia jasa. Seharusnya Bapak/Ibu tidak bisa memaksa konsumen, tetapi memperbaiki standar penyediaan jasanya. Bagaimana Pemerintah memperbaiki sekolah, franchise pemerintah ini. Standarnya tolong disamakan, dari segi fasilitas, pengajar, maupun staff. Nanti juga konsumen akan datang dengan sendirinya. Ibarat kata ada dua Matahari Dept. dengan isi yang sama tapi di dua lokasi berbeda, sungguh dengan ilmu psikologi seadanya, dengan alami sebagian besar orang akan datang ke tempat yang lebih dekat. Tanpa memaksa orang yang ingin memilih tempat lebih jauh karena dia ingin jalan-jalan agak lama. 3. Sistem penjurusan di SMA Sungguh sangat teramat disayangkan, jika sistem zona ini telah mengusik lebih dalam potensi dan keinginan anak untuk masuk jurusan yang diambil. Dalam pembelajaran SMA pun sudah ada peminatan, belajar sesuai jurusannya. Kita ga boleh tutup mata dengan kenyataan bahwa IPA lebih populer, sehingga hampir semua anak akan cenderung lebih memilih IPA sebagai pilihan utama. Padahal, bukankah tujuan peminatan di sini juga ada bagian mengasah potensi siswa? Contoh kasus, banyak anak yang karena ingin bersekolah di SMA A (karena jarak rumah lebih dekat meskipun beda zona, karena pertimbangan fasilitas, almamater, dll), dia sebenarnya punya nilai baik dan cenderung lebih berpotensi untuk MIPA, dia harus rela memasukkan pilihan IPS sebagai pilihan kedua karena dengan pertimbangannya IPS di SMA A masih lebih baik dibanding dia jurusan IPA di SMA B di zonanya. Karena sistem zona ini, karena dia bukan zona utama, dia tergeser oleh anak yang nilainya jauh di bawah dia yang alamatnya di zona I yang entah memilih IPA karena ingin atau hanya karena populer. Yang saya pahami, sistem zona ini, zona I 90%, 10% sisanya adalah zona lainnya. Karena sistem ini sudah terlanjur, tapi menurut saya penjurusan ini masih bisa diberikan kebijakan lebih lanjut yang lebih baik menurut saya, seperti diadakan tes ulang untuk penjurusan untuk seluruh siswa yang diterima. Bahkan untuk ke depannya, jika bisa, jangan buat sistem kuota untuk masing-masing jurusan, tetapi sistem standar potensi. Misal dengan memberikan bobot untuk mata pelajaran yang merepresentasikan jurusan tersebut. 4. Pengkajian ulang zona dan presentase Saya lebih setuju yang dimaksud dalam zona adalah satu kabupaten/kota, bukan satu kota dibagi lagi wilayahnya. Namun, jika memang dibagi beberapa zona dalam satu kabupaten, saya harap presentasenya diubah, karena bisa saja anak di bagian zona II sebenarnya lebih dekat ke zona I dibanding harus sekolah di zona II. Mungkin sebagai contoh bisa dibuat zona I 60%, zona 2 30%, dan di luar tersebut 10%, semacam itu. Ohya tolong dengan SANGAT DIKAJI kembali kebijakan Anak Guru dan Anak kurang mampu. Anak kurang mampu secara finansial ya dibantu finansialnya, bukan dengan memberikan keutamaan dalam penerimaan sekolah. Apalagi anak guru, ga ngerti lagi saya ini sama kebijakannya. Sekian aspirasi saya, semoga dapat menjadi perhatian dan pertimbangan dalam kebijakan selanjutnya. Serta semoga Bapak Presiden, Bapak Menteri dan jajaran pemangku kebijakan, tolong berikan kami pencerahan, ketenangan, dan alasan untuk menerima kebijakan ini. Bukan hanya mendiamkan kami hingga kami lelah bersuara. Salam sejahtera untuk seluruh warga Indonesia, semoga tidak pernah ada penyeselan kami terlahir di tempat kami terlahir.
Disposisi
Rabu, 04 Juli 2018 - 09:25 WIB
Admin Gubernuran
Verifikasi
Rabu, 04 Juli 2018 - 09:33 WIB
DINAS PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN